1. Jalan Mulia Berunsur Delapan
a. Pandangan
benar (samma ditthi)
b. Pikiran
benar (samma sankappa)
c. Ucapan
benar (samma vaca)
d. Perbuatan benar (samma
kammanta)
e. Mata pencaharian benar
(samma ajiva)
f. Daya
upaya benar (samma vayama)
g. Perhatian
benar (samma sati)
h. Konsentrasi
benar (samma samadhi)
2. Sila
Upasaka-Upāasika
Dalam
susunan masyarakat Buddhis terdiri atas kelompok (parisa) yaitu; kelompok masyarakat
kevihāraan (bhikkhu-bhikkhuni) dan kelompok
masyarakat awam (perumah tangga). Perbedaan ini didasarkan pada
kedudukan sosial mereka masing-masing dan bukan berarti semacam kasta. Agama
Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam masyarakat.
Lima
“kekayaan” upasaka-upasika (upasaka-upasika Dhamma)
1.
Mempunyai keyakinan terhadap Tiratana.
2.
Mempunyai kesucian kemoralan.
3.
Tidak percaya akan perbuatan tahyul dan kabar angin atau desas-desus yang
belum dicek kebenarannya.
4.
Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma.
5.
Berbuat kebaikan sesuai dengan Dhamma.
Hiri
dan Ottappa
Hiri
adalah perasaan malu melakukan perbuatan jahat, sedangkan ottappa adanya
perasaan takut terhadap akibat perbuatan jahat yang dapat ia lakukan. Dua macam
Dhamma itu juga dikatakan sebagai pelindung dunia, artinya bila manusia
memiliki perasaan malu (hiri) dan perasaan takut (ottapa) untuk melakukan
perbuatan jahat, maka dunia akan menjadi damai, tenang, dan tidak akan terjadi
kejahatan-kejahatan yang dapat merugikan mahkluk hidup itu sendiri.
Pancasila, Atthasila
Upasaka-upasika, adalah siswa
yang dekat dengan guru dan menggunakan jubah putih. Mereka hidupnya
melaksanakan lima aturan kemoralan (sila) dan dapat melatih delapan kemoralan
(sila) karena dengan melatih lima kemoralan (sila) tersebut. Mereka yang
melatih diri dan melengkapi hidupnya dengan aturan-aturan kemoralan, maka akan
berakibat terlahir di alam bahagia (surga), bila melatih lima kemoralan (sila)
dengan sungguh-sungguh akan berakibat memperoleh kebahagiaan, kemakmuran,
kedamaian dan kesejahteraan, dalam kehidupan sekarang ini. Dan, bila
melatih lima atau delapan kemoralan dengan sungguh-sungguh mempraktikannya
dalam kehidupan sehari-hari dan dengan sempurna, sempurna pula kebajikan
(paramita) maka akan berakibat mencapai pembebasan dari derita (dukkha) dan
dapat meraih kebahagiaan tertinggi Nibbanna.
3. Pancasila-Pancadhamma
Seorang upasika-upasika
hendaknya melatih lima sila Pancasila-Budddhis dan sekaligus melaksanakan
Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini, lima macam Dhamma yang bagus, yang
merupakan bahan untuk mentaati pancasila buddhis, yaitu:
- Metta-Karuna:
cinta kasih dan belas kasihan. Dhamma pertama ini sama dengan sila pertama
Pancasila.
- Samma-Ajiva:
Pencaharian benar. Dhamma kedua ini sama dengan sila kedua dari pancasila.
- Kamasavara:
penahanan diri terhadap nafsu inderia. Dhamma ketiga ini sama dengan sila
ketiga Pancasila.
- Sacca:
kebenaran benar dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Dhamma keempat ini sama
dengan sila
keempat dari pancasila.
- Sati-sampajanna: kesadaran
benar. Dhamma kelima ini sama dengan sila kelima dari pancasila.
4. Sigalovada Suttanta
Merupakan
sutta yang tergolong sangat populer dikalangan masyarakat buddhis, karena menguraikan tuntunan hidup manusia sebagaimana
seharusnya, upasaka-upasika itu memiliki kewajiban yang komplek; baik kepada
orang tua, guru-gurunya, siswa-siswanya, suami-isteri, pegawai atau pekerja
bawahannya. Juga, kewajiban pada pemerintah, bangsa dan negara.
Kewajiban tersebut bersifat timbal balik, saling mendukung membawa pada
kebajikan dan kebahagiaan hidup sebagai bagian dari orang banyak.
5. Vyagghapajja-Sutta
Suttanta, merupakan sutta yang menguraikan bagaimana seharusnya upasaka-upasika meniti
Suttanta, merupakan sutta yang menguraikan bagaimana seharusnya upasaka-upasika meniti
kehidupan
dan meraih kebahagiaan dalam jalan kebenaran, kebajikan sesuai ajaran Dhamma.
Ada empat
macam Dhamma yang menimbulkan kebahagiaan dan berguna pada saat ini, antara
lain:
a. Rajin. Bekerja
dengan ahli dan rajin, tidak membiarkan pekerjaan lewat atau mengakitbatkan
banyak kerugian, kemerosotan dalam prestasi kerja. Sebaliknya,
rajin dalam bekerja sehingga mencapai keberhasilan dan kemakmuran dalam hidup.
b. Berhati-hati
menjaga harta tidak membiarkan hilang, dicuri, atau digunakan untuk
berfoya-foya sehingga harta atau prestasinya menjadi merosot dan mengalami
kehancuran.
c. Memiliki
sahabat-sahabat yang baik. Sahabat yang baik atau sahabat yang berhati jahat
sangat mempengaruhi hidup seseorang. Banyak orang mengalami kehancuran akibat
bergaul dan bersahabat dengan orang-orang jahat.
d. Cara hidup
yang seimbang. Jika, menggunakan materi melebihi pendapatan sebagai akibatnya
akan mengalami masalah serius yaitu kehancuran ekonomi.
Istilah yang dipakai dalam menyatakan baik dan buruk
adalah kusala dan akusala. Kusala adalah sehat, baik dan akusala adalah tidak
sehat dan tidak baik. Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan baik dan buruk,
kriteriumnya adalah apakah perbuatan tersebut mendatangkan kebahagiaan atau
tidak.
Salah satu cara untuk memutuskan apakah perbuatan itu
baik dan buruk, benar dan salah dengan menggunakan pemeriksaan apakah ia akan
membawa kelepasan (viraga) atau keterikatan (raga).
Menurut Buddhisme awal, kebahagiaan termulia harus
dicapai melalui pengendalian semua kerinduan akan dunia (kesenangan indria),
semua kedengkian, nilai-nilai yang keliru, sekaligus bersama-sama dengan
keterikatan kekecewaan yang muncul akibat ketidakkekalan dan kepuasan yang
tidak dapat bertahan lama. Ini semua dicapai melalui perhatian yang benar,
lengkap dan sempurna.
Menurut analisis Sang Buddha, ada empat tipe orang di
dunia ini :
·
Orang yang menyiksa dirinya (attantapa)
·
Orang yang menyiksa orang lain (parantapa)
·
Orang yang menyiksa dirinya maupun orang lain
(attantapo ca parantapo ca)
·
Orang yang bukan menyiksa dirinya maupun bukan lainnya
(neva attantapo na parantapo)
Jadi untuk Sang Buddha, nilai-nilai kebenaran adalah
tidak terbedakan dari nilai moral atau nilai-nilai etika. Keduanya adalah
nilai-nilai yang berpastisipasi dalam alam.