IV. KESEIMBANGAN BATIN (Upekkha)Keseimbangan batin adalah kondisi seimbangnya batin yang sempurna dan tak tergoyahkan, yang berakar dalam penembusan pemahaman.Melihat dunia di sekitar kita, dan melihat ke dalam hati kita sendiri, mengerti dengan jelas betapa sulitnya untuk mencapai dan mempertahankan keseimbangan batin.Melihat ke dalam kehidupan, kita perhatikan bagaimana ia bergerak antara hal-hal yang kontras:keuntungan dan kehilangan,terkenal dan tidak terkenal,dipuji dan dihina,kebahagiaan dan penderitaan.Sebuah dunia dimana makhluk-makhluk yang baru saja mendapatkan kebahagiaan simpatik dari kita, pada saat berikutnya membutuhkan welas asihdari kita – dunia yang seperti ini membutuhkan keseimbangan batin.Jika perlindungan ini, melakukan kebajikan dan menghindari kejahatan, telah kukuh tertanam dalam diri kita, suatu hari kita akan merasa yakin: “Semakin banyak dan semakin banyak yang menghentikan kesengsaraan dan kejahatan yang berakar pada masa lalu. Dan pada kehidupan saat ini – saya mencoba untuk membuatnya tanpa noda dan murni. Apalagi yang dapat masa depan berikan selain meningkatnya kebaikan?”Demikian juga, semua peristiwa beragam dalam hidup kita, sebagai akibat dari perbuatan kita, juga akan menjadi sahabat-sahabat kita, bahkan sekalipun hal-hal tersebut membawakan kita kesedihan dan rasa sakit. Perbuatan-perbuatankita kembali pada diri kita dalam samaran yang seringkali sulit dikenali. Terkadang tindakan-tindakan kita kembali pada diri kita melalui bagaimana sikap orang lain memperlakukan kita, kadangkala melalui perubahan mendadak keseluruhan dalam hidup kita.Jika kita belajar untuk melihat hal-hal dari sudut ini dan membaca pesan yang dibawakan oleh pengalaman kita sendiri, maka penderitaan sekalipun akan menjadi sahabat kita. Ia akan menjadi sahabat yang tegas, namun juga sahabatyang penuh kebenaran dan berniat baik yang mengajarkan kita pelajaran yang paling sulit, pengetahuan mengenai diri kita sendiri, serta memperingatkan kita terhadap jurang yang sedang kita tuju secara membuta.Lebih jauh, hal ini menunjukkan bahwa jika tidak ada diri, kita tidak dapat mengatakan “Milikku”. Adalah delusi terhadap suatu “Aku” yang menciptakanpenderitaan dan mengusik atau mengganggu keseimbangan batin.Jika sifat tertentu dari diri kita disalahkan, kita akan berpikir: “Aku disalahkan” dan keseimbangan batin menjadi goyah.Jika suatu kerja tidak berhasil, kita berpikir: “Pekerjaanku telah gagal” dan keseimbangan batin menjadi goyah.Jika kehilangan kekayaan atau orang-orang yang dicintai, kita berpikir: “Apa yang menjadi milikku telah pergi” dan keseimbangan batin menjadi goyah.Seseorang juga harus menghentikan penyokong pikiran-pikiran yang demikian,semua pikiran egois tentang “Aku”, dimulai dari sebuah bagian kecil kepribadian, yang tidak terlalu penting, dari kelemahan kecil yang ia lihat dengan jelas, dan secara bertahap hingga kepada bentuk-bentuk emosi danketidaksukaan terhadap sesuatu yang ia anggap sebagai pusat dirinya. Pelepasan seperti ini mesti dilatih.
Kita merasakan bagaimana hati kita merespon terhadap semua ini dengan perasaan bahagia dan kesedihan, semangat dan keputus-asaan, kekecewaan dan kepuasan, harapan dan rasa takut.Gelombang-gelombang emosi ini melambungkan kita ke atas dan juga mencampakkan kita ke bawah. Belum lama kita dapat istirahat sebentar, kita sudah diseret oleh gelombang baru berikutnya.Bagaimana kita dapat mengharapkan untuk terus menapaki puncak kejayaan?Bagaimana bisa kita mendirikan bangunan kehidupan kita di tengah-tengah samudera keberadaan yang tak pernah diam ini, jika bukan di atas pulau keseimbangan batin?Sebuah dunia dimana seporsi kecil kebahagiaan dapat terbagi ke makhluk-makhluk yang dicapai setelah melalui banyak kekecewaan, kegagalan dan kekalahan.Sebuah dunia dimana hanya keberanian untuk memulai sesuatu yang baru, lagi dan lagi, yang menjanjikan kesuksesan.Sebuah dunia dimana sejumlah kecil kebahagiaan tumbuh di antara kesakitan, perpisahan dan kematian.Akan tetapi, jenis keseimbangan batin yang diperlukan mestilah yang berlandaskan pada keberadaan batin yang waspada, bukan pada kemalasan yang tidak peduli dan sikap masa bodoh.Keseimbangan batin ini mestilah hasil dari latihan keras dan tekun, bukan efek kebetulan dari suasana hati yang sedang dialami. Namun keseimbangan batin tidaklah pantas dinamakan “keseimbangan batin” seandainya ia mesti dihasilkan melalui pengerahan upaya lagi dan lagi.Dalam kasus demikian, keseimbangan batin akan semakin dilemahkan dan akhirnya dikalahkan oleh perubahan-perubahan dalam hidup. Keseimbangan batin yang sejati, bagaimanapun juga, haruslah mampu menjawab semua ujian-ujian yang keras ini dan mampu menghidupkan kembali kekuatannya dari sumber-sumber dalam diri. Keseimbangan batin akan memiliki kekuatan ketahanan dan pemahaman diri hanya jika ia berakar pada penembusan pemahaman (insight).Lantas, bagaimana sifat dari penembusan pemahaman tersebut?Yaitu pemahaman yang jernih bagaimana semua perubahan hidup ini berasal, dan sifat sejati diri kita sendiri. Kita harus mengerti bahwa pengalaman beraneka ragam yang kita alami berasal dari kamma kita – tindakan kita baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan – yang dilakukan pada kehidupan ini maupun kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kamma merupakan rahim darimana kita berasal (kamma-yoni), dan suka tidak suka, kita adalah pemilik tak terhindarkan dari perbuatan kita (kamma-ssaka). Akan tetapi, segera sesudah kita melakukan tindakan, kendali kita terhadapnya hilang: ia selamanya bersama kita dan tak terhindarkan akan kembali ke kita sebagai warisan yang sesuai (kamma-dayada).Tidak ada hal yang terjadi pada kita berasal dari dunia luar asing yang bermusuhan dengan diri kita; segalanya adalah hasil dari batin dan perbuatan kita sendiri. Karena pengetahuan ini membebaskan kita dari rasa takut, ia adalah landasan pertama dari keseimbangan batin. Pada ketika dalam segala hal yang menimpa kita disebabkan diri kita sendiri mengapa kita mesti merasa takut?Akan tetapi, jika rasa takut ataupun kekhawatiran tetap muncul, kita mengetahui naungan yang dapat meredakan perasaan-perasaan ini: Perbuatan baik kita (kamma-patisarana). Dengan mengambil naungan ini, keyakinan diri dan keberanian akan tumbuh dalam diri kita – keyakinan diri terhadap kekuatan perlindungan dari perbuatan baik kita di masa lampau; keberanian untuk melakukan lebih banyak lagi perbuatan baik sekarang; walaupun kita sedang menghadapi kehidupan yang penuh kesukaran saat ini. Sebab kita mengetahui bahwa perbuatan yang mulia dan tidak mementingkan diri sendiri menyediakan pertahanan terbaik terhadap hantaman hidup yang keras; bahwasanya tidak pernah terlambat dan selalu saja tiap saat adalah waktu yang sesuai untuk melakukan perbuatan baik.Dari keyakinan inilah, batin kita menjadi tenang, dan kita akan memperoleh kekuatan kesabaran dan keseimbangan batin untuk menahan segala beban kesulitan diri kita pada saat ini. Lantas perbuatan-perbuatan kita akan menjadi sahabat kita (kammabandhu).Sering pula hasil-hasil perbuatan kita bertentangan dengan pengharapan ataupun keinginan kita. Pengalaman-pengalaman demikian menunjukkan pada kita konsekuensi-konsekuensi perbuatan yang tidak kita perkirakan sebelumnya, mereka menunjukkan motif-motif setengah sadar dari tindakan lampau kita yang bahkan ingin kita sembunyikan dari diri kita sendiri, yang ingin kita tutupi dengan berbagai dalih dan alasan palsu.Dengan melihat penderitaan sebagai guru dan sahabat kita, kita akan lebih berhasil menghadapinya dalam keseimbangan batin. Sebagai akibatnya, ajaran tentang kamma akan memberikan kita kekuatan/gerak hati yang kuat untuk membebaskan diri kita dari kamma, dari perbuatan-perbuatan yang lagi dan lagi melemparkan kita ke dalam penderitaan kelahiran berulang.Perasaan jijik akan timbul terhadap nafsu kemelekatan diri kita sendiri, terhadap delusi, terhadap kecenderungan alamiah diri kita sendiri untuk menciptakan situasi yang mencoba kekuatan kita, ketahanan kita dan keseimbangan batin kita.Penembusan pemahaman kedua sebagai landasan keseimbangan batin adalah ajaran Buddha tentang tanpa-aku (Anatta).Ajaran ini menunjukkan bahwa dalam hakikat yang tertinggi, perbuatan tidaklah dilakukan oleh diri manapun, juga akibat perbuatan tersebut tidak berakibat pada diri manapun.Untuk mewujudkan keseimbangan batin sebagai keadaan batin yang tak tergoyahkan, seseorang harus melepaskan semua pikiran-pikiran posesif mengenai “Milikku”, dimulai dari hal-hal kecil yang mudah dilepas, dan secara bertahap hingga kepemilikan dan tujuan yang sangat didambakan segenap hati.Hingga suatu tahapan kita meninggalkan pikiran tentang “Milikku” atau “Aku”, keseimbangan batin akan memasuki hati kita. Sebab bagaimana mungkin sesuatu yang kita sadari adalah asing dan tanpa suatu diri dapat mengusik kita melalui nafsu, kebencian atau kesedihan? Dengan demikian, ajaran mengenai tiada-aku akan menjadi penuntun kita dalam jalan pembebasan, menuju keseimbangan batin yang sempurna.Keseimbangan batin adalah mahkota dan puncak dari empat keadaan batin yang luhur. Namun hal ini bukan dipahami bahwasannya keseimbangan batin adalah penolakan terhadap cinta, welas asih dan kebahagiaan simpatik, ataupun bahwasannya keseimbangan batin lebih unggul dibanding yang lainnya.Jauh dari itu, keseimbangan batin mencakup dan menyebar menyeluruh di dalam tiga keadaan luhur tersebut, sama halnya tiga keadaan luhur menyebar menyeluruh di dalam keseimbangan batin yang sempurna.
Kita merasakan bagaimana hati kita merespon terhadap semua ini dengan perasaan bahagia dan kesedihan, semangat dan keputus-asaan, kekecewaan dan kepuasan, harapan dan rasa takut.Gelombang-gelombang emosi ini melambungkan kita ke atas dan juga mencampakkan kita ke bawah. Belum lama kita dapat istirahat sebentar, kita sudah diseret oleh gelombang baru berikutnya.Bagaimana kita dapat mengharapkan untuk terus menapaki puncak kejayaan?Bagaimana bisa kita mendirikan bangunan kehidupan kita di tengah-tengah samudera keberadaan yang tak pernah diam ini, jika bukan di atas pulau keseimbangan batin?Sebuah dunia dimana seporsi kecil kebahagiaan dapat terbagi ke makhluk-makhluk yang dicapai setelah melalui banyak kekecewaan, kegagalan dan kekalahan.Sebuah dunia dimana hanya keberanian untuk memulai sesuatu yang baru, lagi dan lagi, yang menjanjikan kesuksesan.Sebuah dunia dimana sejumlah kecil kebahagiaan tumbuh di antara kesakitan, perpisahan dan kematian.Akan tetapi, jenis keseimbangan batin yang diperlukan mestilah yang berlandaskan pada keberadaan batin yang waspada, bukan pada kemalasan yang tidak peduli dan sikap masa bodoh.Keseimbangan batin ini mestilah hasil dari latihan keras dan tekun, bukan efek kebetulan dari suasana hati yang sedang dialami. Namun keseimbangan batin tidaklah pantas dinamakan “keseimbangan batin” seandainya ia mesti dihasilkan melalui pengerahan upaya lagi dan lagi.Dalam kasus demikian, keseimbangan batin akan semakin dilemahkan dan akhirnya dikalahkan oleh perubahan-perubahan dalam hidup. Keseimbangan batin yang sejati, bagaimanapun juga, haruslah mampu menjawab semua ujian-ujian yang keras ini dan mampu menghidupkan kembali kekuatannya dari sumber-sumber dalam diri. Keseimbangan batin akan memiliki kekuatan ketahanan dan pemahaman diri hanya jika ia berakar pada penembusan pemahaman (insight).Lantas, bagaimana sifat dari penembusan pemahaman tersebut?Yaitu pemahaman yang jernih bagaimana semua perubahan hidup ini berasal, dan sifat sejati diri kita sendiri. Kita harus mengerti bahwa pengalaman beraneka ragam yang kita alami berasal dari kamma kita – tindakan kita baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan – yang dilakukan pada kehidupan ini maupun kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kamma merupakan rahim darimana kita berasal (kamma-yoni), dan suka tidak suka, kita adalah pemilik tak terhindarkan dari perbuatan kita (kamma-ssaka). Akan tetapi, segera sesudah kita melakukan tindakan, kendali kita terhadapnya hilang: ia selamanya bersama kita dan tak terhindarkan akan kembali ke kita sebagai warisan yang sesuai (kamma-dayada).Tidak ada hal yang terjadi pada kita berasal dari dunia luar asing yang bermusuhan dengan diri kita; segalanya adalah hasil dari batin dan perbuatan kita sendiri. Karena pengetahuan ini membebaskan kita dari rasa takut, ia adalah landasan pertama dari keseimbangan batin. Pada ketika dalam segala hal yang menimpa kita disebabkan diri kita sendiri mengapa kita mesti merasa takut?Akan tetapi, jika rasa takut ataupun kekhawatiran tetap muncul, kita mengetahui naungan yang dapat meredakan perasaan-perasaan ini: Perbuatan baik kita (kamma-patisarana). Dengan mengambil naungan ini, keyakinan diri dan keberanian akan tumbuh dalam diri kita – keyakinan diri terhadap kekuatan perlindungan dari perbuatan baik kita di masa lampau; keberanian untuk melakukan lebih banyak lagi perbuatan baik sekarang; walaupun kita sedang menghadapi kehidupan yang penuh kesukaran saat ini. Sebab kita mengetahui bahwa perbuatan yang mulia dan tidak mementingkan diri sendiri menyediakan pertahanan terbaik terhadap hantaman hidup yang keras; bahwasanya tidak pernah terlambat dan selalu saja tiap saat adalah waktu yang sesuai untuk melakukan perbuatan baik.Dari keyakinan inilah, batin kita menjadi tenang, dan kita akan memperoleh kekuatan kesabaran dan keseimbangan batin untuk menahan segala beban kesulitan diri kita pada saat ini. Lantas perbuatan-perbuatan kita akan menjadi sahabat kita (kammabandhu).Sering pula hasil-hasil perbuatan kita bertentangan dengan pengharapan ataupun keinginan kita. Pengalaman-pengalaman demikian menunjukkan pada kita konsekuensi-konsekuensi perbuatan yang tidak kita perkirakan sebelumnya, mereka menunjukkan motif-motif setengah sadar dari tindakan lampau kita yang bahkan ingin kita sembunyikan dari diri kita sendiri, yang ingin kita tutupi dengan berbagai dalih dan alasan palsu.Dengan melihat penderitaan sebagai guru dan sahabat kita, kita akan lebih berhasil menghadapinya dalam keseimbangan batin. Sebagai akibatnya, ajaran tentang kamma akan memberikan kita kekuatan/gerak hati yang kuat untuk membebaskan diri kita dari kamma, dari perbuatan-perbuatan yang lagi dan lagi melemparkan kita ke dalam penderitaan kelahiran berulang.Perasaan jijik akan timbul terhadap nafsu kemelekatan diri kita sendiri, terhadap delusi, terhadap kecenderungan alamiah diri kita sendiri untuk menciptakan situasi yang mencoba kekuatan kita, ketahanan kita dan keseimbangan batin kita.Penembusan pemahaman kedua sebagai landasan keseimbangan batin adalah ajaran Buddha tentang tanpa-aku (Anatta).Ajaran ini menunjukkan bahwa dalam hakikat yang tertinggi, perbuatan tidaklah dilakukan oleh diri manapun, juga akibat perbuatan tersebut tidak berakibat pada diri manapun.Untuk mewujudkan keseimbangan batin sebagai keadaan batin yang tak tergoyahkan, seseorang harus melepaskan semua pikiran-pikiran posesif mengenai “Milikku”, dimulai dari hal-hal kecil yang mudah dilepas, dan secara bertahap hingga kepemilikan dan tujuan yang sangat didambakan segenap hati.Hingga suatu tahapan kita meninggalkan pikiran tentang “Milikku” atau “Aku”, keseimbangan batin akan memasuki hati kita. Sebab bagaimana mungkin sesuatu yang kita sadari adalah asing dan tanpa suatu diri dapat mengusik kita melalui nafsu, kebencian atau kesedihan? Dengan demikian, ajaran mengenai tiada-aku akan menjadi penuntun kita dalam jalan pembebasan, menuju keseimbangan batin yang sempurna.Keseimbangan batin adalah mahkota dan puncak dari empat keadaan batin yang luhur. Namun hal ini bukan dipahami bahwasannya keseimbangan batin adalah penolakan terhadap cinta, welas asih dan kebahagiaan simpatik, ataupun bahwasannya keseimbangan batin lebih unggul dibanding yang lainnya.Jauh dari itu, keseimbangan batin mencakup dan menyebar menyeluruh di dalam tiga keadaan luhur tersebut, sama halnya tiga keadaan luhur menyebar menyeluruh di dalam keseimbangan batin yang sempurna.
Oleh: Nyanaponika Thera